Oleh : Syam Rizal Abbas 

Interpretasi tentang “iman” memang sangatlah kompleks, rumit, ruwet, juga rada nyeleneh. Terlebih oleh Pramoedya Ananta Toer yang menyebut iman sebagai “ruang tanpa pertanyaan”.
Iman sebagai suatu tesis, cukup oleh pernyataan “aha!” tanpa pertanyaan “bla bla bla…”.

Namun, berbeda dengan Pramoedya, beberapa orang justru menyebut bahwa iman wajib “dilumuri” oleh pelbagai pertanyaan.

Jefrey Lang, dalam bukunya: “Dan Malaikat Pun Bertanya”, dengan apik mengkonstruksi hipotesis tentang Iman; “…Iman adalah bentuk artikulatif yang lahir dari proses dialektis rasonalitas manusia: Ia ditempah lewat tradisi rasional yg oposisional dan mempunyai kapasitas mengatasi waktu”.

Patok-patok tentang iman adalah kategori-kategori, ukuran-ukuran dan (terutama) kata-kata. Sedangkan, yang dipatok adalah segala sesuatu yang hadir dalam hidup. Dan, setelah patok-patok itu tertancap mantap, maka bisalah bidang di dalamnya digarap penuh ikhlas dan antusias; nama bidang itu adalah Tuhan.

Tuhan selalu didekati dengan dua masalah khas: pertama, sebagai masalah sains; mengarah pada perdebatan tentang ada atau tidaknya Ia; kedua, sebagai masalah “makna” (bagian dari masalah sosial); tentang arti Tuhan bagi manusia.

Jika menelusur Tuhan sebagai sejarah pemikiran, maka secara telak, kita menemukan bahwa, di samping sebagai kenyataan historis, Tuhan ternyata adalah “invensi” manusia; Tuhan adalah sebuah upaya tafsir terus-menerus.

Armstrong, dalam magnum-opusnya tentang “Hystory Of God”, cenderung pada konsep tentang Tuhan yang “a-personal”; bukan Tuhan yang mencipta atau menjawab do’a manusia.

Namun, sebuah kekuatan di balik alam, yang mengatasi alam, yang menjadi “tanda” dan “kata”, serta sebuah misteri. Pemaknaan tentang Tuhan adalah sebuah konsepsi yang acapkali berubah-ubah setiap zaman –sebagai sebuah penegasan Tuhan sebagai “invensi” manusia.

Tuhan beserta subordinasinya adalah hal yang paling diburu manusia lewat kata. Tuhan yang di maksud adalah bukan “tuhan konvensional”, namun “tuhan non konvensional” dalam bentuk “pengetahuan ruhani”; yang menuntun pendalaman dunia-dalam kita (jati diri), yakni: segala perbuatan (amal), ketakjuban, megat ruh, momen revelasi, juga perasaan (kecil).

Dan, momentum Ramadhan kali ini seakan dieksplorasi ummat muslim dalam-dalam, tuk menjamah lewat kata (juga menghamba?) “tuhan non konvensional” tersebut. Meskipun, dalam “dada”, proses pecarian tersebut tetaplah dengan mengotak-atik kata (rasio), hingga tampak puitis di mana-mana.

Tuhan didekati sebagai “masalah konsepsi”; sebuah hiburan atau jalan keluar dari ketakpuasan dan kebuntuan atas konsepsi Iman. Namun, sesungguhnya ia adalah hakikat yang tak terbatas. Ia hadir dalam segala realitas dan mengalir dalam segala bentuk keberadaan. Dia absolut dan meliputi segala sesuatu. Namun di sisi lain, dia di luar dari segala sesuatu itu.

Jebakan “bahasa” tentang Tuhan (iman?), adalah jebakan yang selama ini menjebloskan manusia dalam “posisi minder”, defensif, dan takluk terhadap segalanya itu. Dan, secara Apriori memisahkan antara Tuhan dan segala kemutlakannya; termasuk pemaknaan lewat makna dan bahasa itu sendiri.

Akhirnya, meminjam torehan Attar, dalam parabel: Musyawarah Burung:
“…orang-orang yang percaya dan tak percaya sama-sama bermandi darah, dan kepalaku berpusing bagai langit. Mereka bukan tanpa harapan, tetapi mungkin tak sabar”. Wallahu a’lam bissawab.

 

*) Penulis ialah penggiat literasi Gorontalo

%d blogger menyukai ini: