Pranala.co.id-Sebagai seorang pemimpin daerah yang pernah menyandang jabatan fungsional akademik tertinggi (Profesor), Nelson Pomalingo sangat nampak, tetap menghayati marwah pendidik yang memang didesain untuk senantiasa mengaplikasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni membimbing, mengarahkan, membelajarkan selain riset dan pengabdian kepada masyarakat.

Buktinya, meski sang Deklarator Provinsi Gorontalo ini telah memasuki dan berada dalam ruang lingkup politik praktis yang sewaktu-waktu menghadapi gelombang badai berupa “intrik” destruktif, namun mantan Ketua Presnas Pembentukan Provinsi Gorontalo ini, tetap mampu dan eksis berdiri dalam mengaktualisasikan dua dimensi keluhuran budi sebagai orang Gorontalo. Yakni dimensi kekaryaan yang bisa saja menjadi sumber inspirasi dan dimensi spiritual yang sarat dengan nilai-nilai edukatif-deduktif.

Lebih jauh lagi, jika merefleksi jejak kiprah Prof. Nelson Pomalingo, baik ketika masih menjabat Rektor UNG, UMGO maupun kiprahnya pada puluhan organisasi kemasyarakatan, kemudian selama menjabat Bupati Gorontalo, tersaji sebuah realitas, betapa Nelson Pomalingo, diakui atau tidak diakui, sudah banyak berbuat dan memilikinya rentetan jejak karya “ilomata” untuk Gorontalo. Dimensi pengabdian ini merujuk dan telah memenuhi unsur-unsur yang menjadi pesan leluhur Gorontalo, salah satunya adalah “batanga pomaya” atau jiwa dan raga ini diabdikan untuk negeri.

Namun di sisi yang lain juga, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Gorontalo ini, sudah cukup kenyang dengan berbagai ujian dan “gelombang badai” yang menghadang, namun ia tetap eksis, mampu bertahan dan tetap tegar-kuat menghadapinya. Dimensi ini merujuk pada keteguhan, tingkat kesabaran dan keikhlasan yang tinggi, sebagaimana yang diwariskan oleh leluhur Gorontalo sebagai “Hunggia” dan juga “Dudutongo” yang tetap kokoh berdiri meski mendapatkan ujian dan cobaan yang berat.

Saat masih menjabat Rektor IKIP kemudian menjadi UNG misalnya, mantan Ketua PGRI Provinsi Gorontalo ini, tidak hanya mampu meletakkan fondasi kemajuan yang konstruktif bagi masa depan UNG dan Sumber Daya Manusia (SDM) Gorontalo, tapi juga masih segar dalam memori publik, bagaimana seorang Nelson menghadapi badai dan gelombang “Tragedi Desember” sebanyak 2 kali, kasus sertifikasi guru yang bermula dari “surat kaleng” yang akhirnya tidak terbukti dan diputus bebas murni oleh Mahkamah Agung pada 2008 silam.

Bahkan bagaimana kesabaran Nelson diuji saat pelantikannya sebagai Rektor pada 2006 yang sempat terkatung-katung selama 9 bulan lamanya karena “faktor X” , yang ternyata kebenaran tetap berpihak padanya hingga tetap dilantik hingga masa jabatannya berakhir pada 2010.

Demikian juga, saat mulai menjabat Bupati Gorontalo, terutama memasuki periode kedua tahun 2020 lalu.

Selama masa jabatannya pada periode pertama, Ketua Dewan Masjid Indonesia Provinsi Gorontalo ini, tidak hanya mampu mempersembahkan pembangunan dan kemajuan yang progresif melalui trend peningkatan di semua sektor pembangunan, tapi juga diuji dengan berbagai gonjang-ganjing yang sudah mulai ditabuh sejak jauh-jauh hari.

Puncaknya tentang isu pencoretan sebagai konstentan di Pilkada hingga ujaran kebencian di media sosial yang bertubi-tubi beserta upaya pembunuhan karakter lainnya yang dihujamkan dan ditembakkan tanpa ampun ke sosok Nelson ketika itu.

Yang sangat menyentuh lagi, saat menghadapi guncangan hebat itu, Nelson harus menerima kenyataan kehilangan sang adik tercinta kembali di Keharibaan Sang Maha Pencipta.

Di tahun 2022 ini, lagi-lagi Prof. Nelson mendapat ujian yang cukup berat, dihadang oleh persoalan yang ditengarai “by design” yang sangat kental nuansa agitatif tanpa ampun.

Namun, lagi-lagi dari semua rentetan badai dan gelombang yang terus menghadang itu, Nelson tetap tegar bahkan memandang bahwa apapun yang terjadi terkait Pilkada dan politik merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang harus dihadapi dengan bijak.

Itulah sebabnya, ditengah masifnya isu pembunuhan karakter yang ditujukan kepadanya, Nelson Pomalingo tetap fokus bekerja untuk rakyat seraya membelajarkan temtang bagaimana berdemokrasi yang baik.

Buktinya, meski martabat dan perasaannya tersakiti, Nelson tidak pernah mengeluh,.tidak juga menaruh dendam bahkan dengan jiwa besar dan hati yang lapang, sejak awal Nelson sudah memaafkan dengan ikhlas kepada siapapun yang pernah menyakiti dan menyerang martabatnya.

Bukti teranyar, pada penghujung Agustus 2022 lalu, Bupati Nelson dengan lapang dada memaafkan salah seorang terdakwa yang tengah menjalani sidang pencemaran nama baiknya di media sosial pada 2020 lalu.

Meski sudah memaafkan, namun sebagai pembelajaran kepada siapapun agar bermedsos dengan baik dan bijak, maka Bupati Nelson mendorong proses hukum harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Sebagai orang Gorontalo yang lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang sangat kental dengan nilai-nilai peradatan Gorontalo, Nelson Pomalingo yang akrab dipanggil dengan nama kesayangan “Syam”, sangat paham betul tentang arti kata “Duhelo” yang dinisbatkan pada rongga dada oleh para leluhur Gorontalo yang berarti “Dutuwa Lo’umohelo”, yang artinya tempat meletakkan sesuatu agar hidup menjadi ringan.

Ketika sabar dan ikhlas menjadi acuan, maka hidup terasa “mohelo” atau ringan. Jika dikorelasikan dengan hukum alam yang menjadi landasan filosofis masyarakat Gorontalo sejak dulu, bahwa hidup itu harus “mohelo wolo tawu” atau ringan hati dengan siapapun, bahkan dengan orang yang membenci kita sekalipun.

Karena sesuatu yang ringan itu akan selalu muncul ke permukaan atau “lumandtungo”, sementara sesuatu yang berat sudah pasti “Lumodu’o atau tenggelam.

Itulah rahasia sukses tentang kearifan sang profesor yang masih relevan untuk dimaknai dan dihayati oleh orang Gorontalo di manapun. Satu hal yang pasti, kearifan sang Profesor selama ini terinspirasi dan merujuk pada Firman Allah SWT dalam Al Qur’an, “Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolong kalian”

Dalam perspektif sang Profesor, sabar dan ikhlas merupakan bentuk perlawanan yang paling mutakhir, apalagi bagi seorang muslim. Karena hakekat kata “Muslim” itu adalah berserah diri.

Hal itu sejalan dengan ungkapan bijak yang mengatakan ;
“Melawanlah dengan pikiran dan akal sehat. jika tak mampu, lakukan lagi sampai mereka paham bahwa ruang kebencian yang terurai bukan atas masalah etika, melainkan ketidakmampuan mereka merapikan logika yang tersumbat, tercecer hingga membusuk.

Jangan sekali-kali membalas dengan kebencian karena kebencian itu tidak hanya mengganggu akal sehat, tapi juga meredupkan nur atau cahaya kebenaran.

Melalui nilai-nilai kearifan itulah,.maka tidak mengherankan, jika dalam setiap kepemimpinannya, Nelson Pomalingo tidak hanya memancarkan cahaya lentera keteladanan yang menginspirasi, tapi juga jejak-jejak karya Ilomata sang Deklarator, kemudian prestasi, terobosan dan gagasan-gagasannya untuk Gorontalo masih dapat dilihat dan dirasakan hingga saat ini. (Ali Mobiliu)

Penulis adalah Jurnalis dan penulis buku budaya Gorontalo

%d blogger menyukai ini: