Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo
Pranala.co.id-Dalam pengertiannya, manifesto adalah pandangan, perspektif atau pemikiran-pemikiran tentang sebuah gerakan dan perjuangan yang hendak dicapai.
Istilah ini lebih banyak digunakan dalam konteks perjuangan politik sejak zaman Belanda, terutama oleh pejuang-pejuang kemerdekan Indonesia.
Apalagi setelah perjuangan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia beralih dari yang bersifat kedaerahan menjadi pergerakan nasional, istilah ini semakin mengkristal seiring lahirnya semangat nasionalisme di kalangan pejuang Indonesia.
Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, manifesto perjuangan lahir dan tercetus, karena adanya optimisme bahwa Indonesia telah berada di pintu kemerdekaannya terbebas dari penjajahan negara manapun.
Oleh karena itu, spirit dari sebuah manifesto, adalah apa pandangan, pemikiran dan perspektif yang menjadi landasan berpijak, ketika cita-cita perjuangan berhasil diwujudkan bersama.
Pancasila yang dikumandangkan pertama kali oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, merupakan salah satu dari bagian manifesto atau pemikiran-pemikiran dan pandangan Soekarno tentang bagaimana membangun dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang memiliki beragam ras, suku, agama, bahasa dan budaya.
Selain itu, peristiwa Sumpah Pemuda dapat juga disebut sebagai sebuah manifesto gerakan kepemudaan Indonesia yang berikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa di tengah kemajemukan bangsa Indonesia ketika kemerdekaan berhasil diperjuangkan.
Bagaimana dengan Indonesia di era reformasi? Apakah sebuah manifesto personal atau kolektif masih sangat relevan dikumandangkan di ranah politik dan pemerintahan sekarang?
Relevansinya terletak pada realitas kekinian bangsa Indonesia yang masih menghadapi “musuh” bersama berupa kemiskinan dan kebodohan.
Bahkan jenis musuh ini, jauh lebih berbahaya ketimbang “musuh” yang berwujud fisik dengan bedil dan senjata di tangan.
Kemiskinan dan kebodohan adalah musuh nyata yang bersifat “abstrak” sehingga sulit membidikkan arah senjata perlawanan untuk mengusirnya.
Tidak heran, jika sepanjang perjalanan bangsa Indonesia setelah 79 tahun kemerdekaan Indonesia, musuh bernama kemiskinan dan kebodohan masih tetap bercokol di rangking teratas dibandingkan dengan negara-negara di belahan dunia lainnya.
Oleh karena itu, dalam konteks Pemilu dan Pemilukada tahun 2024 ini, sebenarnya manifesto politik sangat penting dicanangkan dan digaungkan oleh politisi dan Partai Politik di manapun.
Hal itu untuk merangsang, mengajak dan menggugah setiap politisi agar tidak selalu terjebak pada “retorika-retorika” kosong yang mengumbar program dan visi-misi tanpa melalui fase kajian dan analisis yang komprehensif.
Manifesto politik dalam konteks kekinian, sangat penting untuk mengajak dan menggugah partisipasi masyarakat pemilih untuk berjuang bersama dalam politik sehingga realitas “pragmatisme” politik masyarakat pemilih dapat diminimalisir sekecil mungkin.
Pragmatisme politik masyarakat seakan terus menjadi-jadi dan mencuat dalam ranah Pemilihan Umum (Pemilu), karena selama ini, partisipasi politik masyarakat hanya dipandang sekadar datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih menggunakan hak suaranya.
Akibatnya, dalam tataran politik di Indonesia seakan memunculkan 2 kelompok yang saling berseberangan, yakni kelompok elit politik dan kelompok masyarakat akar rumput.
Kelompok elit politik dan kelompok akar rumput masyarakat pemilih seakan dibatasi oleh “tembok besar” yang berseberangan.
Dalam situasi yang demikian, elit politik terjebak dalam memperebutkan suara rakyat yang berada di seberang sana.
Elit politik saling bertengkar, ribut dan berlomba memperebutkan suara masyarakat akar rumput untuk naik ke tampuk kekuasaan.
Melihat fenomena itu, masyarakat akar rumput sebagai pemilih akan menempatkan Pemilu sebagai momentum melakukan politik “transaksional”.
Pesta demokrasi akhirnya seakan menjelma menjadi sebuah pasar yang menghadirkan penjual dan pembeli.
Masyarakat akar rumput sebagai pemilih akan menempatkan diri sebagai “Penjual” dan elit politik dipandang sebagai “Pembeli”.
Bahkan karena demi sebuah “kursi kekuasaan” harga satuan suara ditentukan oleh penjual yang membuat pembeli tidak bisa menawar lagi. Sementara volume suara yang dibutuhkan untuk sebuah kursi mencapai jutaan suara.
Itulah sebabnya, harga sebuah kursi kekuasaan menjadi sangat mahal dan dirasakan sangat mencekik oleh para elit politik sebagai pembeli.
Saat menjelang Pemilu psikologi masyarakat pemilih akan berbisik “Kalian elit yang butuh kami dan kami rakyat tidak butuh kalian. Ada uang ada suara, tidak ada uang tidak ada suara”.
Dalam konteks ini, masyarakat pemilih berada dalam posisi tawar yang tinggi dan elit kekuasaan berada dalam posisi tawar yang lemah yang harus mengeluarkan uang demi sebuah kursi.
Setelah Pemilu selesai dan figur yang berhasil menggelontorkan uang yang secara kuantitas dan “isi tas” lebih banyak, maka posisi tawar masyarakat pemilih akan berbalik 360 derajat, posisinya menjadi lemah tak berdaya dan posisi sang penguasa yang berhasil duduk memiliki posisi tawar yang tinggi.
” Psikologi sang penguasa akan berbisik : “Tidak ada urusan, saya sudah membeli suara kalian, sekarang saya harus berpikir bagaimana mengembalikan uang saya yang telah saya gelontorkan untuk membeli suara kalian”. Mau hidup senang, mau hidup susah kalian, bodo amat.
Itulah politik transaksional hari ini yang terus terjadi dan menjadi fenomena politik hari ini.Akibat jangka panjangnya, adalah musuh yang bernama kemiskinan dan kebodohan sangat betah bercokol di negeri ini.
Itulah pentingnya “Manifesto” Politik. Yakni bagaimana elit politik dapat menghancurkan tembok pemisah dengan masyarakat akar rumput agar interaksi antara elit dan masyarakat akar rumput tetap terjadi
Jika merujuk pada sejarah lahirnya “manifesto” saat perjuangan mengusir musuh bernama penjajah, maka dapat disimpulkan, bahwa manifesto membawa dampak psikologis lahirnya semangat kebersamaan, senasib dan seperjuangan. Elit pemimpin dan rakyat menyatu, tidak ada sekat pemisah antara keduanya.
Selain itu,.manifesto politik dapat menggugah peran partisipasi politik masyarakat secara utuh. Partisipasi politik masyarakat tidak hanya dipandang sebatas “datang ke TPS”, tapi lebih dari itu, manifesto politik akan merangsang masyarakat untuk “berpikir dan berjuang bersama” tanpa terlihat secara vulgar adanya batas pemisah antara elit dan masyarakat akar rumput.
Pertanyaan selanjutnya, apa manifesto para elit politik untuk merangkul masyarakat dalam satu gerakan dan satu perjuangan melawan “musuh” bernama kemiskinan dan kebodohan?
Jawabannya, hanya mereka yang mampu belajar sejarah perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah masal lalu lah yang akan menjemput kemenangan di masa mendatang. Semoga (***)