Oleh :
Prof. Fory Armin Naway
Ketua ICMI dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo
Pranala.co.id-Tahun 2024 ini boleh disebut sebagai tahun politik. 14 Februari yang lalu, Pemilu legislatif telah menghasilkan kepemimpinan bangsa dan mendudukkan wakil rakyat di lembaga legislatif di semua tingkatan.
Pada 27 November mendatang, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sudah mulai berproses sejak Mei 2024 ini.
Secara ideal, politik di manapun diharapkan senantiasa bersandar pada “rasionalitas” untuk mengorbitkan pemimpin yang berkualitas.
Namun dalam tataran realitas, terdapat keresahan, terutama bagi mereka yang memiliki idealisme politik yang bertumpu pada “akal sehat”.
Betapa tidak, politik dan demokrasi saat ini, sudah sangat identik dengan “isi tas” yang sarat dengan nuansa transaksional. Prinsip “Ada uang ada suara” tidak ada uang tidak ada suara” sudah secara masif ada dalam benak publik.
Politisi di manapun sudah pasti merasakan fenomena yang menggejala saat ini, baik oleh para politisi yang cukup memiliki modal “isi tas” maupun politisi yang hanya bermodalkan integritas.
Fenomena politik transaksional, seakan menutup ruang bagi politisi yang memiliki “modal sosial” yang sudah memiliki jejak karya dan karsa di tengah masyarakat.
Begitu parahnya politik transaksional ini, sampai-sampai pemilih terkadang lupa dengan jasa politisi tertentu, hanya karena tergiur dengan lembaran uang Rp. 50 ribu yang disodorkan sesaat sebelum pemungutan suara.
Kasus Pak Sumedi, salah seorang caleg pada Pemilu Legislatif 2024 di daerah Cilegon Jawa Barat menjadi salah satu contoh nyata tentang bagaimana parahnya politik transaksional di negeri ini.
Pak Sumedi kala itu harus menerima kenyataan kalah, karena ternyata tidak satu pun warga yang ia bantu selama ini yang memilihnya.
Padahal sejak tahun 2019 atau 5 tahun lamanya, Pak Sumedi secara sukarela mengalirkan air minum atau air bersih sejauh 2 kilometer dari tempat tinggalnya ke permukiman warga yang hidup di perbukitan.
Air dari sumur bor miliknya itu dipompa ke permukiman warga dengan uang pribadinya. Ia pada awalnya membeli pompa, pipa termasuk membayar sebagian besar biaya listrik yang harus ia tanggung hingga jutaan Rupiah.
Masih banyak kasus-kasus lainnya yang menjadi gambaran nyata, betapa demokrasi di Indonesia tidaklah murah,melainkan seakan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki isi tas yang cukup memadai.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, adalah apa yang salah dengan demokrasi di negeri ini? Kesalahan sistem? ataukah karena proses edukasi politik ke masyarakat yang tidak jalan.
Jika dikomparasikan dengan proses demokrasi di negara-negara maju, sebutlah negara terdekat Singapura, maka politik transaksional atau pragmatisme masyarakat setiap kali pesta demokrasi digelar, lebih disebabkan oleh proses edukasi politik ke masyarakat yang tidak massif dan tidak konsisten.
Proses edukasi politik yang mencerahkan dan mencerdaskan sangat penting menjadi rujukan. Mengapa? Karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, termasuk di Gorontalo yang sebagian besar masih sangat rendah.
Indikatornya dapat dilihat dari data dari Biro Pusat Statististik (BPS) di Gorontalo yang hampir sebagian besar tidak lulus Sekolah Dasar (SD)
Menurut data BPS tahun 2023, prosentase Kepala Rumah Tangga di Gorontalo yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) berada pada angka 48,39 persen, tamat SD sebanyak 29,74 persen, tamat SMP hanya 11,32 persen, tamat SMA hanya 6,38 persen dan tamat Perguruan Tinggi hanya 4,8 persen.
Demikian juga dengan tingkat literasi di Indonesia yang juga masih sangat rendah. Menurut data UNESCO, tingkat literasi di negeri ini berada pada urutan 60 dari 61 negara di dunia.
Faktor lainnya yang juga mempengaruhi pragmatisme politik masyarakat,selain tingkat pendidikan dan literasi, juga faktor ekonomi masyarakat, khususnya di Gorontalo, dimana daerah ini masih masuk 5 besar daerah termiskin di Indonesia. Demikian pula dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Gorontalo yang masih masuk 10 besar terendah di Indonesia.
Melihat fakta tersebut di atas, maka proses edukasi politik di daerah ini, masih perlu dilakukan secara intensif dan masif oleh lembaga yang berwenang.
Proses edukasi politik tidak hanya dilakukan secara intensif,tapi juga penting dilakukan melalui semangat mewujudkan “keteladanan” dari para politisi di daerah ini untuk secara bersama-sama menahan diri dengan mengedepankan proses edukasi atau mendidik dari pada ambisi kekuasaan.
Bagaimanapun, pragmatisme politik masyarakat,juga dipengaruhi oleh sikap politisi yang seakan sudah “membiasakan” masyarakat yang harus “disogok” untuk memilih.
Dalam konteks ini, penting adanya semacam konsensus bersama, ikrar bersama dan konsistensi bersama para politisi, untuk mengendalikan diri dengan mengedepan politik yang mendidik dan mencerahkan ketimbang ambisi untuk meraih kekuasaan.
Apalah artinya kekuasaan yang diraih dengan cara “membeli” suara rakyat. Dan setelah terpilih kasak-kusuk hendak mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sehingga kepentingan rakyat menjadi terabaikan.
Sekali lagi, sikap proaktif dan keteladanan, kemudian konsistensi serta pengendalian diri dari para politisi, menjadi sangat penting demi mewujudkan politik yang mendidik.
Selain itu, sikap bijaksana tersebut, sangat efektif dalam mengembalikan marwah politik yang bermartabat guna melahirkan kepemimpinan yang berkualitas dan berintegritas.
Paling tidak, jika dalam menjalankan politik dan pemerintahan, prinsip “bottom up” menjadi rujukan, maka dalam kerangka memanifestasikan pendidikan politik, aspek keteladanan yang bersifat “top down” sangat urgen terpatri dari nurani para politisi. Semoga (***).