Oleh: Syam Rizal Abbas
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Gorontalo)

Beberapa hari terakhir saya dirundung gelisah; bukan karena soalan cinta yang rekahannya abu-abu, bukan pula kerana rindu yang selalu saja bermanja dan menuntut temu. Tidak! Bukan itu! Sebab, saya “mengimani” bahwa segenap cinta dan rindu selamanya bersifat an sich: begitulah adanya!

Soalan yang membuat gelisah adalah tentang adanya semacam “pergolakan pemikiran” di level para intelektual dibalik kedatangan Gus Ulil di bumi Hulondhalo, tempo hari.

Yang agak mengherankan, bahkan setelah kepulangan Ulil, keterbelahan masing-masing kelompok Islam –antara pendukung dan “pembenci”nya- masih sangat kentara dan menggejala. “Produksi” pesan-pesan negatif terus digiring ke pojok-pojok kesadaran keberislaman kita; (bagi kelompok pembelanya) agar ia –Gus Ulil- dan pikirannya terus didukung; di sisi lain (bagi yang tak menyukainya), agar ia “diterima dengan “latah” sebagai bentuk kesalahan dari pemikirannya.

Kelompok yang tak menyukainya –untuk tidak menyebutnya “menolak”nya- terlanjur suka “melabeli” Ulil sebagai “makhluk liberal”: sebuah labeling yang rada tendesius dan beraroma stigmatis.
Sementara kelompok pembelanya menyebutnya sebagai intelektual syarat Ilmu yang semestinya dihormati, serta menolak labeling “makhluk liberal” terhadapnya

Keterbelahan itu semacam telah mengkonstruk demarkasi yang nyata antara kelompok pembelanya serta kelompok yang tak menyukainya.

Sedari dulu, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikiran Ulil yang –memang- dianggap “aneh” bagi kalangan santri. Ia berani memperkenalkan wacana liberalisme Islam; sebuah wacana yang relatif baru dan mempunyai efek dan implikasi yang begitu jauh. Salah satu implikasinya adalah tudingan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berfikirnya yang sedemikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya akan “kebenaran” Islam.

Pada level yang lebih “mengerikan”, Ulil dan alam pikirannya tentang Islam Liberal seolah dipersonifikasi bak “hantu pemikiran” yang pada gilirannya dituding sebagai “pengganggu” akidah keberislaman ummat Islam –kelompok mereka. Ulil dan wacananya tentang Islam Liberal dituduh sebagai instrument “perang pemikiran” demi melanggengkan hegemoni Barat terhadap dunia Islam; persis seperti agenda terselubung dari para misionaris saat memberikan semacam keraguan terhadap aqidah ummat Islam.

Pada beberapa tulisan kelompok pembencinya, ditemukan bahwa, Ulil dan Islam Liberalnya disebut sebagai gagasan-gagasan kufur yang wajib ditolak karena landasannya adalah Sekularisme yang juga Ideologi kufur –bukan islam.

Mereka menuduh bahwa gagasan Islam Liberal sebenarnya disadur dari “alam pikiran” Barat dan bernama Liberalisme. Sebab, Liberalisme sendiri hadir saat era Renaissance, di mana para Intelektual Barat saat itu “memberontak” dan ingin lepas dari Dogmatisme Agama yang dirasa iriasional serta begitu membelenggu.

Fokus dari agenda prinsipil Liberalisme sendiri adalah kebebasan individual; di mana otoritas Negara harus dipisahkan dari otoritas dan intervensi Agama –gereja (baca;sekularisme). Liberalisme juga mencetuskan liberalisasi di sektor Politik dan Ekonomi. Pada poros yang sama, Liberal religious mengafirmasi para pemeluknya serta individu sebagai pemegang otoritas final dalam menilai –menafsirkan- teks-teks Agama.

Akar Historis Islam Liberal
Latar belakang pemikiran Islam liberal sebenarnya mempunyai akar hingga ke masa keemasan Islam. Dialektika soalan ilmu Kalam dalam tradisi intelektual muslim telah membuka “kran pemikiran” dalam membedah khazanah Islam. Theology Rasional Islam yang dikembangkan kaum rasionalis Islam (baca; mu’tazilah) dan para Filsuf Islam, semisal Al-Kindi, Al-Faraby, Ibn-Rusyd adalah pembuka jalan untuk percakapan “peradaban modern” dalam dunia Islam yang progressif, kontekstual, dan substansial –termasuk pembaruan penafsiran tentang teks-teks kitab suci.

Dalam relevansinya dengan Islam liberal, Kurzman menyebut bahwa Islam Liberal menemukan momentumnya sekira Abad ke-18, saat Turki Utsmani, Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Saat itu, hadir beberapa Ulama yang menginginkan adanya gerakan pemurnian Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bersamaan dengan itu, hadirlah semacam “embrio” Islam Liberal yang digagas oleh Waliyullah di India yang menyuguhkan oase Islam yang lebih kontekstual –non literal-dan harus mengikuti adat lokal setempat yang sesuai dengan kebutuhan penduduknya.

Ide ini terus bergulir. Di Mesir, Rifa’ah Rafi’ Al-Tahtawi memperkenalkan sekaligus memasukkan “unsur” eropa dalam pendidikan Islam, yang bertujuan untuk “mempercakapkan” tradisi intelektual Islam dan Eropa (baca; Dunia Barat). Selanjutnya, di India ada Sayyid Ahmad Khan yang membujuk kaum muslim untuk “berkompromi” dengan penjajah Inggris untuk mengambil kebijakan untuk bekerja sama. Pada tahun 1877 ia membuka susatu kolase yang kemudian “bermetamorfosa” menjadi Universitas Aligarh pada 1920. Di Mesir, hadir M. Abduh yang relatif banyak mengadopsi corak befikir kelompok Mu’tazilah yang berusaha “membebaskan” Islam dari pengaruh Salaf. Abduh Sendiri adalah murid dari Jamaluddin Al-Afgani; tokoh pembaruan Islam yang beraliran Liberal. Setelah Abduh, kemudian muncul Ali Raziq yang berusaha untuk mendobrak sistem khilafah –sistem politik bernegara yang dianggap paling “islami”- karena menurutnya Islam tak memiliki “gagasan baku” dalam dimensi politik, sehingga ummat Islam perlu untuk menggelorakan semacam “ijtihad baru” dalam me-reformulasi sistem bernegara yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya saat itu.

Pada era Kontemporer Islam Liberal dalam dunia Arab hadir berbagai sosok tokoh dan pemikir Islam Liberal, semisal Mohammed Arkoun dengan gagasannya “kritik akal islam”; metode penafsiran Quran lewat pendekatan semiotika, hermeneutika, filsafat dan linguistik. Hadir juga sosok Hasssan Hanafi yang memperkenalkan gagasan tentang “kiri islam”. Selanjutnya ada Fazlur Rahman yang memperkenalkan tafsir Quran kontekstual, hingga Abed Al-jabiry yang berhasil merumuskan metode penafsiran Qur’an; metode Bayani, Burhani, Irfani.

Islam Liberal di Indonesia
Islam liberal sendiri masuk ke Indonesia melalui Nurcholis Madjid –murid Fazlur Rahman di Chicago- bersama Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Gus Dur yang mendesak adanya semacam gagasan pembaruan Islam dengan mengkampanyekan Pluralisme, gender, inklusivisme serta demokrasi sebagai tajuk pemikiran utama, sekira tahun 1970-an.

Gagasan tentang Islam liberal sendiri menemukan Momentumnya pada Tahun 2001, saat Generasi Ulil Abshar Abdalla, Goenawan Mohammad, Ahmad Sahal dkk mentransformasi “pikiran” tentang Islam liberal ke dalam sebuah lembaga yang dikenal dengan sebutan Jaringan Islam Liberal (JIL), sekira Tahun 2001.

Tidak butuh waktu lama, JIL banyak “diminati” oleh para intelektual. Simpatisannya yang berasal dari anak-anak muda yang aktif di Paramadina, aktivis, jurnalis, dan UIN Jakarta.

Dalam perkembangan selanjutnya, JIL cukup menyedot perhatian khalayak ramai. Ini diindikatori oleh banyaknya perdebatan tentangnya, hingga secara tandas memuculkan semacam dua kutub pemikiran; antara yang pro dan kontra. Kehadiran JIL di Indonesia saat itu seolah telah menghadirkan kategorisasi –meminjam bahasanya Stephen Sulaiman Schwartz- “dua wajah Islam” antara “islam ramah” sebagai personifikasi dari kelompok Islam liberal, serta “Islam marah” sebagai personifikasi Islam fundamental. Dialektika pemikiran Islam tentang “dualisme” wajah Islam di Indonesia seolah terus menggejala hingga dewasa ini.

Ulil-isme
Islam liberal memanglah hanya bagian dari berbagai tajuk pemikiran dalam Islam. dalam konteks yang lain, secara genealogi –apabila kita hendak me-reidentifikasinya- pemikiran tentang Islam Liberal memang bukanlah pikiran yang autentik dari seorang Ulil. Dia hanyalah satu di antara sekian banyak tokoh pemikir Islam liberal yang “menambal-sulam” pemikiran Islam liberal.

Bahkan, di Indonesia sendiri, Ulil hanyalah salah satu tokoh “beraliran” Islam liberal dan bahkan terbilang datang belakangan. Lantaran sebelumnya ada beberapa tokoh pemikir Islam liberal pendahulunya.
Dalam teori Kausalitas tentang “sebab-akibat”, Ulil dapat digolongkan sebagai “akibat” dari hadirnya pemikir Islam liberal sejak era keemasan Islam dulu, hingga –di Indonesia- generasi Nurcholis Madjid dkk di Indonesia.

Namun, meskipun begitu, Ulil nyatanya mampu memberikan “warna baru” dan begitu sempurna dalam “mendekorasi” panggung wacana pemikiran Islam Liberal di Indonesia medio belakangan. Ia mampu melampaui ‘kadar intelektual” para pendahulunya dalam membedah dan menyuguhkan pemikiran Islam liberal yang lebih “segar” khususnya di Indonesia, dan justru lebih dominan memainkan peran dibandingkan rekan seangkatannya –sesama pemikir Islam liberal.

Jika kita menganalogikan, Ulil bak plato –pemikir filsafat- yang notabene merupakan murid dari Sokrates. Namun, dalam perkembangannya, ternyata Plato mampu melampaui pemikiran gurunya. Sehingga pemikiran Plato menjadi semacam “primadona” baru dalam tajuk pemikiran kefilsafatan, persis seperti yang dilakonkan Ulil hingga hari ini..

Lompatan-lompatan pemikiran Ulil tentang Islam liberal sangat “ciamik”. Ia hadir dengan gagah dan berani dan secara tandas dan konsekuen mengarungi resiko; dihina, difitnah, dicaci, bahkan diteror sekalipun. Ia adalah “prototype” sekaligus “role model” pemikir Liberal yang tak neko-neko dengan gagasan yang diusungnya hingga kini. Maka, tak belebihan jika saya “berijtihad” demi merumuskan “ulil-isme” sebagai “terminologi baru” dalam hal “pemaknaan” Islam liberal di Indonesia.

Ulil-isme sendiri adalah semacam sebuah poros “sistem pemikiran” dengan gaya dan karakter khas dari Ulil, tentang Islam Liberal yang secara tandas sangat berbeda –tidak kita dapati- dari tokoh pemikir Islam liberal yang lain.

Ulil-isme adalah anti-tesa dan symbol perlawanan progresif terhadap kebekuan dibalik kemapanan nalar keberislaman kita; menganggap Islam semacam “monumen mati” yang dipahat pada abad ketujuh masehi, dan tak boleh disentuh “tangan” sejarah, persis seperti artikelnya Menyegarkan kembali Pemahaman Islam, yang diangkat harian kompas, beberapa tahun silam.

Ulil-isme mengusung gagasan pembaruan dalam hal penafsiran teks –kitab suci. Yakni, pemahaman Islam yang non-literal, substansial, kontekstual dan releven dengan “denyut nadi” peradaban ummat Islam; penafsiran yang memisahkan antara nilai substansial-fundamental Islam, serta nilai partikular yang hanya bagian dari konstruksi budaya setempat (baca; arab).
Dalam “bermanusia”, Ulil-isme mengejawantah dalam bentuk rasa welas-asih terhadap agama, golongan, ras dan suku. Dan, memandang dirinya sebagai “ummat” yang tak terpisah dari golongan lain. Sebab, manusia adalah “keluarga universal” yang diikat dan dipersatukan oleh nilai kemanusiaan itu sendiri.

Dalam bernegara, ulil-isme termanifestasi dalam sikapnya yang menggelorakan konsep demokrasi sebagai konsensus warga bangsa dalam sistem bernegara,.Juga, memberi semacam demarkasi antara urusan agama dan Negara. Bahwa, agama adalah urusan privat warga Negara, sedangkan Negara adalah urusan publik. Antara agama dan Negara tak boleh saling mengintervensi antara satu sama lain, sebab keduanya memiliki batas-batas yang menjadi “kerangka kerjanya” masing-masing.

Dalam beragama, Ulil-isme menekankan tentang sikap inklusif; sebuah sikap “kerelaan” dalam menerima “kebenaran”, termasuk dari kelompok lain, termasuk yang datangnya dari golongan d luar Islam. Ulil-isme berpandangan bahwa setiap nilai kebaikan di manapun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami –“nilai generis”- yang tak memandang “bentuk” tapi “isi” yang tersembunyi dibaliknya.

Terminologi ulil-isme memanglah sangat luar biasa tatkala ia diendapkan dari sistem pemikiran menuju level yang lebih praktis. Bukan saja karena ia menyimpan sejumlah gagasan-gagasan besarn tetang perlawanannya terhadap tradisi keberislaman yang usang, kaku, beku dan telah mapan, tetapi karena ia mampu berkontribusi dalam “melakonkan” peran signifikan atas munculnya kesadaran keberislaman yang “segar”, substansial, kontekstual dan hidup sesuai denyut nadi peradaban ummat Islam.

Menjernihkan Pemahaman Tentang Islam Liberal
Istilah dan fenomena Islam liberal sesungguhnya bukanlah gagasan dan yang baru dalam percaturan pemikiran Islam –sebagaimana ulasan di atas. Bahkan, jika kita menelusuri lebih dalam; kita akan mendapati bahwa betapa “liberal”nya Umar saat menafsirkan ayat tentang sariqah saat itu, misalnya.

Charles Kurzman menjelaskan bahwa Islam Liberal merupakan sebuah penafsiran progresif terhadap teks yang secara auntentik berangkat dari khazanah keislaman, atau tradisi awal keislaman untuk berdialog agar dapat “menikmati” modernitas; kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia, kemajuan tekhnologi dan informasi demi “mengimbangi” peradaban dunia barat dan menciptakan masyarakat madani.

Islam Liberal adalah sebuah kesadaran kritis keberislaman yang mengusung tiga agenda besar, yakni; agenda politik (demokrasi) , toleransi antar agama (pluralisme), kesetaraan gender, serta kebebasan berpendapat, persis seperti yang disebutkan oleh Luthfhi As-Syaukani –salah satu pentolan Islam liberal.

Mereka merumuskan tujuannya dalam beberapa hal; memperkokoh nilai inklusivisme, humanisme, serta membangun gagasan keberagamaan yang pluralis dan terbuka. Itu sebabnya, Islam liberal mestinya dipahami sebagai sebuah kesadaran kritis yang mendatangkan energi, menciptakan dan “menyembuhkan”.

Dalam konteks yang lain, istilah Islam liberal mestinya juga harus dipahami semacam sebuah “kesepakatan” untuk membedakan “dirinya” dengan istilah Islam yang suka menyemai kekerasan dengan/dan atas nama agama.

Islam liberal adalah wajah Islam yang ramah, bersahabat, toleran, inklusiv, serta mau hidup berdampingan dengan penganut keyakinan berbeda, dan dengan sendirinya melihat perbedaan sebagai bagian dari rahmat. Mereka adalah “lawan” dari kelompok Islam yang mudah marah, merasa paling benar intoleran, dan eksklusif dan mengkhianati pesan sejati Islam itu sendiri. mereka ogah memonopoli kebenaran yang muaranya adalah truth claim secara sepihak.

Beranjak dari itu, maka adalah naif apabila kita cenderung “mengkotori” nilai keimanan kita dengan cara melekatkan stigma terhadap Islam liberal –terlebih kepada simpatisannya, apalagi sekaliber Gus Ulil yang tempo hari datang menyambangi dan menghadiahkan “insentif keilmuan” bagi kita di bumi Serambi Madinah.

 

*)Penulis salah satu penggiat literasi dan Kadee HMI Cabang Gorontalo

%d blogger menyukai ini: