Ulasan, Oleh : Ali Mobiliu

Pranala.co.id, Gorontalo – Istilah “Hileyia, Dulialo, Dembulo dan Dumbihu”, saat ini sudah mulai jarang didengar, dilihat dan dilakoni oleh masyarakat Gorontalo.

Padahal tradisi ini sangat penting dalam membina dan mengembangkan kebersamaan, bahkan dapat menjadi salah satu aspek penting dalam menunjang program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.

Hileyia adalah istilah yang digunakan untuk keluarga yang berduka atau kedukaan. Hileyia mengandung arti “pemindahan” atau telah berpindahnya seseorang dari alam dunia ke alam kubur.

Hileyia berasal dari kata “Loheyi” yang artinya “bergeser” atau berpindah yang dapat dimaknai bergesernya roh dari alam dunia ke alam akhirat atau alam kubur.

Di kalangan masyarakat Gorontalo zaman dulu, ketika ada tetangga yang meninggal misalnya, terdapat tradisi yang disebut dengan “Dulialo” yakni kegiatan untuk menghibur keluarga yang berduka pada hari pertama kedukaan.

Tradisi “Dulialo” di kalangan masyarakat Gorontalo merupakan isyarat, betapa leluhur kita mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.

Wujud nyata dari tradisi “dulialo” ini dilakukan dalam bentuk “memindahkan isi dapur” untuk dimasak secara gotong royong di rumah orang yang mengalami kedukaan.

Hal ini akan meringankan beban bagi mereka yang berduka. Bagaimanapun juga, pada hari pertama kedukaan, biasanya keluarga yang berduka tidak sempat bekerja mengurusi makanan di dapur, sehingga tetangga atau kerabat maupun kenalan, khususnya kaum ibulah yang beramai-ramai memasak apa yang dibawa dari rumah masing-masing.

Inilah bentuk kekeluargaan dan kebersamaan yang menunjukkan, betapa orang Gorontalo zaman dulu sangat perduli dan memiliki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi terhadap mereka yang mengalami musibah atau cobaan yang patut dihayati dan diteladani oleh generasi Gorontalo di masa kini dan masa mendatang.

Dulialo” dilakukan dengan tiga cara, yakni, pertama, mendatangi keluarga yang berduka, menyampaikan rasa simpati atau turut berduka sembari mengucapkan “sabar” kepada keluarga yang ditinggalkan dan membawa apa yang bisa dimasak di rumah duka.

Namun Dulialo jenis ini tentu hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan secara ekonomi. Bagi mereka yang tidak mampu, tentu saja tetap mendatangi rumah duka. .”Penu Bo dedelo ulu’u mopulu, waw “o’ata Mopulu” debo mo titileya, mobilehe”, artinya biarpun hanya dengan sepuluh jari tangan dan kaki (tidak membawa apa-apa) yang penting ada rasa perduli dengan datang menengok atau melayat.

Cara kedua, membawa atau mengantarkan makanan yang sudah dimasak ke rumah duka yang dikenal dengan istilah “Dembulo”.

Tradisi ini lebih banyak dilakoni oleh kaum ibu yang memasak dari rumahnya untuk dibawa ke rumah duka. Selain itu, untuk para pria yang masih kerabat atau tetangga, dengan sukarela membuat semacam “pagar keliling” atau kurungan dibawah rumah atau di belakang rumah duka, untuk menampung bantuan ternak semisal ayam yang diantarkan oleh para kerabat atau tetangga lainnya untuk meringankan beban keluarga yang berduka.

Kebiasaan ini dikenal dengan istilah “Dumbihu” yang biasanya berlangsung selama satu minggu.

Cara ketiga dalam bentuk permainan yang terdiri dari “Mo’auta”, “mototane, dan Motapula tanggi”. Permainan ini dilaksanakan selama seminggu, namun dilakukan pada saat-saat tertentu dengan maksud semata-mata menghibur keluarga yang berduka agar sejenak melupakan kepergian keluarga dekatnya.

Mo’auta adalah permainan yang menggunakan media berupa sepotong papan yang berbentuk perahu dan memiliki dua deretan lubang se arah panjang papan dan masing-masing deret itu memiliki 7 lubang.

Tujuh lubang ini memiliki makna “jumlah hari” dimana semua makhluk yang hidup akan tetap mati pada salah satu hari yang ada tersebut yang dikenal dengan istila “debo memedungga olo”.

Nah, masing-masing tujuh lubang itu diisi dengan 3 atau 4 batu-batu kecil se ukuran kelereng secara berganti-ganti oleh para pemain, hingga lubang yang lainnya kosong. Demikian seterusnya.

Sementara cara menghibur keluarga yang berduka lainnya dalam bentuk permainan adalah “totane” yakni anyaman benang pada jari tangan, apabila tepat mencabut benang itu, maka terlepas seluruh anyaman benang itu dari tangan. Sebaliknya, jika salah, maka akan kacaulah benang itu atau “motambulula”.

Adapun “motapula tanggi” adalah semacam permainan teka-teki atau mengasah kepekaan” dengan menanyakan sesuatu kepada seseorang secara bergantian. Contoh, wa’u mo’ontdo ………kemudian dijawab oleh orang lain, jika salah, si penanya akan mengatakan, “tanu diila ju” bo tilala antdo” dan seterusnya.

Dalam tradisi hileyia di Gorontalo dikenal memiliki prosesi ritual “doa arwah” atau “aruwa” atau mongaruwa selama 7 hari dan ada pula yang dilakukan selama 3 hari, yakni hari pertama, hari ketiga, hari kelima dan hari ketujuh.

Selanjutnya ada doa arwah hari ke-20, 30 hari dan 40 hari. Dalam prosesi Hileyia di Gorontalo, apalagi dilakukan secara adat, bagi kalangan keluarga yang memiliki kemampuan secara ekonomi mungkin tidak menjadi persoalan, tapi bagi mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, maka tradisi “Dulialo, Dembulo dan Dumbihu” sangat penting artinya bagi mereka.

Pemerintah daerah yang selama ini dituntut untuk mengentaskan kemiskinan bagi masyarakatnya, tentu saja dapat melirik dan mengapresiasi tradisi “DULIALO dan DEMBULO”yang diwariskan oleh para leluhur untuk dihidupkan kembali.

Bagaimanapun, meski banyak diantara mereka terutama warga yang tidak mampu secara ekonomi “ikhlas” menyelenggarakan prosesi kedukaan, namun sudah dapat dipastikan prosesi-prosesi kedukaan tersebut, jika tidak ada uluran tangan dari kerabat atau sahabat mereka yang memiliki kelebihan secara ekonomi, tentu akan menguras dana, bahkan mereka terpaksa harus berhutang.
Hal ini tentu menjadi resistensi yang menyebabkan keluarga yang berduka tersebut tetap dalam kondisi termiskinkan atau tidak berdaya.

Banyak kasus, pedagang kecil, petani dan nelayan misalnya, meski hanya berpenghasilan tidak seberapa, namun masih tetap berusaha menabung untuk dipersiapkan menambah modal atau untuk biaya anaknya di perguruan tinggi misalnya.

Namun karena musibah yang ia alami (kedukaan) pada suatu waktu, maka ia harus menguras tabungannya bertahun-tahun tersebut.

Akibatnya, semua cita-cita yang diimpikannya dari menabung itu menjadi sirna. Hal ini tentu menjadi salah satu resistensi dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan menjadi penghambat dalam program pemberdayaan masyarakat.

Dengan begitu maka pemerintah daerah ke depan, dalam melakukan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, tidak hanya melakukan pendekatan melalui program-program bantuan, tapi juga melalui pendekatan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur Gorontalo. Siapkah Pemda memulainya? Kita tunggu saja. Insya Allah.(*)

%d blogger menyukai ini: